Kamis, 21 April 2011

Poltekkes-(agama islam) pandangan agama Islam mengenai ilmu pengetahuan

Pandangan Islam Mengenai Ilmu Pengetahuan

A. Ilmu dan Hubungannya dengan Islam


Hubungan Islam dengan ilmu pengetahuan sangatlah baik, bagaimana tidak, bila nabi Muhammad SAW sendiri dalam sebuah hadistnya menerangkan “Al-ilmu hayatul-Islam wa’imauddin”, ilmu itu jiwa Islam dan tiang tonggak agama: Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah mengajarkan manusia untuk berdoa “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”(Thaha:114)

Islam adalah wahyu dari Allah dan ilmu juga berasal dari Allah. Wajarlah kalu keduanya terjalin dalam hubungan yang mesra. Prof.Haxly dan Dr. Maurice mengungkapkan bahwa science yang sebenarnya dan agama yang sebenarnya adalah kembar. Dan oleh karena itu, tidak akan terjadi permusuhan antara keduanya, malah sebaliknya antara keduanya terjalin hubungan timbale balik saling membutuhkan dan sekaligus juga saling membantu.


B. Ilmu sebagai Kewajiban

Menuntut ilmu sangatlah diperhatikan dalam Islam, sehingga bagi setiap orang Islam hal itu merupakan kewajiban keagamaan tidak boleh diabaikan. Hal tersebut terdapat dalam surat Al-Alaq. Ayat ini turun dalam suasana perang, namun tidak semua dikerahkan ke medan pertempuran. Sebagian dikirim ke medan pertempuran dan sebagian lagi dikirim ke medan pendidikan untuk menuntut ilmu, khususnya ilmu agama. Jadi meskipun dalam suasana peperangan, menuntut ilmu tidak dapat diabaikan, apalagi dalam suasana damai. Menuntut ilamu adalah kewajiban sepanjang hidup, sejak lahir sampai mati.



C. Menuntut Ilmu Sangat Utama

Menuntut ilmu sangat dihargai oleh Islam dan merupakan amal yang sangat utama, sebagai keutamaan menuntut ilmu diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam berbagai hadistnya, salah satunya:
“siapa yang keluar dari rumahnya untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah (fisabilillah) sehingga ia pulang kembali” (Riwayat Tirmidzi),



D. Orang Berilmu Sangat Mulia

Orang yang berilmu adalah orang yang sangat mulia dalam Islam dan mendapat tempat yang sangat terhormat. Dalam Al-Qur’an disebutkan, ada dua golongan manusia yang akan diangkat derajatnyaoleh Allah yaitu orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu pengetahuan (Al-Mujadalah,11).

Dan orang-orang yang berilmu pengetahuan, termasuk diantara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya. Kemudian menurut Rasulullah SAW. orang-orang yang berilmu pengetahuan ulama merupakan pewaris para Nabi.



E. Ilmuan Sebagai Khalifah
F.

Ilmuan sebagai khalifah adalah seseorang yang menggunakan nalarnya untuk dapat mengetahui rahasia alam raya dan memanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan hidup di dunia serta menambah keyakinan dengan cara meyakini kekuasaan Allah tanpa batas, sehingga ia mampu merasakan betapa kecil dirinya dihadapan Allah.
Fitrah adalah kemampuan dasar manusia yang dapat dibina dan dikembangkan sejauh mungkin melalui proses belajar-mengajar.
Fitrah itu adalah : - Potensi untuk beragama (Islam)
- Potensi intelektual (kecerdasan) yang menjadi dasar berpikir kreatif,
- Potensi nafsu (baik atau buruk) yang bersifat kreatif,
- Potensi untuk hidup bermasyarakat (naluri sosialitas), dan
- Potensi nafsu (baik atau buruk) yang bersifat menggerakkan.
-
Oleh karena itu dapat dibenarkan jika diantara ahli teologi menyatakan bahwa manusia adalah homo divianans yaitu makhluk yang berke-Tuhanan. Atau oleh ahli antropologi agama menggelarinya dengan homo religious, makhluk yang beragama.
Jadi pada hakikatnya manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi kemampuan untuk beragama, pengabdian kepada Tuhan, khaliknya.




G. Merawat Mental Lewat Pendidikan

Tujuan akhir pendidikan Islam adalah kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kebahagiaan menurut pandangan psikologi dan kesehatan mental adalah terletak pada harmonisasi hidup lahir batin manusia itu sendiri. Hati nurani manusia merupakan pusat penggerak dorongan-dorongan moralitas manusia yang terletak dalam apa yang disebut super ego atau Das Ich tersebut di atas.

Manusia sering mengalami keresahan batin jika dorongan-dorongan promodial (bernilai rendah) dan pengalaman-pengalaman yang nestapa (pedih) muncul dari Das Es (the Ic)atau bawah-sadar ke dalam lapisan jiwa-sadar (Das Ich the ego) bila dorongan-dorongan tersebut dapat dikendalikan dengan serasi dan seimbang oleh jiwa-sadarnya (Das Ich) itu maka akan terwujudlah keterpaduan antara aspek-aspek pribadi dengan tuntutan kenyataan.

Jadi kesehatan mental yang menimbulkan rasa bahagia itu terletak pada kekuatan Das Ich (Ego) yang tangguh dapat memadukan (menyeimbangkan) antara tuntutan dorongan-dorongan Das Es (lapisan jiwa bahwa sadar) dengan tuntunan moralitas.

Menurt pandangan psikologi behaviorisme yang melihat hakikat manusia dari segi tingkah laku lahiriah, mengukur kesehatan mental dari criteria social karena manusia itu berada dalam kesesuaian dengan lingkungan sosialnya.

Titik pusat pandangan meletakkan harkat dan martabat manusia sebagai pemegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Paham ini berusaha membantah paham psikoanalisis dan psikologi behaviorisme tentang hakikat manusia dan perlakuannya.



Prinsip-prinsip pandangan antara lain:

1. Manusia adalah makhluk yang baik, berbeda dengan psikoanalisis yang memandang manusia sebagai makhluk yang egois dan agresif, yang cenderung kea rah pemuasan nafsu seksualnya yang selalu menyebabkan konflik dengan lingkungan social dan kulturalnya. Sedangkan paham behaviorisme memandang manusia itu bergantung pada pengalaman-pengalaman yang diperoleh melalui belajarnya.

2. Manusia adalah bebas dalam batas-batas tertentu. Berbeda dengan paham psikologi yang diuraikan terdahulu yang pada dasarnya memandang manusia berada dalam determinisme kehidupan.


3. Manusia adalah makhluk yang dinamis yang berkembang terus-menerus menuju suatu tujuan tertentu. Ia selalu didorong oleh lait-linie (tujuan hidupnya) berdasarkan keinginan dan kemauannya yang bebas.

4. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang sehat mentalnya, untuk mengenal hakikat manusia harus dilakukan penelitian.


Bagi psikologi humanistic manusia yang sehat berkat dari kemampuannya memperoleh kemampuan mental yang setaraf dalam self actualization (perwujudan diri) yang kesesuaian, (conform) dengan tuntutan sosio-kulturalnya itulah yang harus dianalisis.
Pandangan dasar Islam tentang hidup bahagia, terletak pada perasaan (emosi) yang berlangsung dalam situasi dan kondisi tertentu.
Para ahli tasauf (mistik) Islam menganggap bahwa rasa bahagia baru tercapai bila manusia telah hidup berdekatan dentgan Tuhannya. Ia tak pernah merasa terasing karena selalu bersama dengan Tuhannya.
Diantara ahli tasauf yang berpaham berlebih-lebihan, seperti Al-Hallas, menyatakan bahwa, ia baru merasakan bahagia jika dirinya pribadi telah bersatu dengan zat Allah. Ia beraliran wibdatul-wujud (panteisme) persatuan antara manusia dengan Tuhan, sehingga ia merasa tak perlu lagi ber-sholat dan sebagainnya, karena ia sendiri telah luluh dalam zat Tuhannya. Tetapi paham ekstrim demikian tidak dapat kita anut, karena akn membahayakan keimanan kita.

Konsep bahaga menurut syariat Islam bertumpu pada kesanggupan manusia melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya, dalam segala bentuk tingkah laku ubudiyah dan muamalahnya dalam masyarakat.

Menurut Dr. Fadhil Al Djamali, bahwa manusia yang bahagia adalah manusia yang berkepribadian Islam yang berbudaya, yang hidup bersama Allah dalam setiap langkahnya.

Manusia yang menurut prinsip[ ajaran islam adalah yang hidup di dalam pola keseimbangan, keserasian dan keselarasan lahiriah dan batiniah sebagai makhluk individual yang disemangati oleh iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT, pola kehidupan yang demukian itulah yang dicita-citakan oleh setiap manusia muslim yang tercermin dalamdoa sehari-hari.

Sebagai berikut:
“Wahai Tuhan kami, limpahilah kami kehidupan yang baik (sejahtera) di dunia dan kehidupan yang baik (bahagia) di akhirat, dan jauhkanlah kami dari siksaan api neraka”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar